Karakteristik Perkembangan dan Pertumbuhan Fiqih dan Ushul Fiqih dalam Sejarah
Dalam mempelajari suatu ilmu, selain
mengetahui Al-Mabadi’ Al-‘Asyarah nya, kita juga harus mengetahui sejarah
perkembangan dan pertumbuhan ilmu tersebut. Jika kita ingin mengetahui
perkembangan dan pertumbuhan fiqih, maka kita dapat melihatnya dalam fase-fase perkembangan ilmu
fiqih. Berikut beberapa fase perkembangan dan pertumbuhan ilmu fiqih :
1.
Fase
permulaan
Fase permulaan ini dimulai pada masa sejak kebangkitan Nabi SAW
sampai wafatnya. Fase ini merupakan awal dari pertumbuhan fiqih. Sebagaimana
dijelaskan oleh Jadul Haq Ali Jadul Haq, bahwa kunci tasyri’ ( otoritas
penetapan hukum dan penerapannya ) dipegang langsung oleh Nabi SAW sendiri. Pada
fase ini pemaknaan fiqih masih berbeda. Fiqih di fase ini maknanya paham
tentang agama yaitu syariat, akidah dan akhlaq. Fase ini berjalan selama dua
puluh dua tahun dan beberapa bulan, sejak dari tahun ke-13 sebelum Hijrah s/d
tahun 11 Hijrah, atau tahun 611 M s/d 632 M. pada fase ini dapat dibagi menjadi
dua fase, yaitu fase mekah dan fase madinah. Adapun karakteristik dari fase
ini, yaitu :
a.
Sumber
untuk menetapkan suatu hukum hanya dua, yaitu Al-Qur’an dan sunnah.
b.
Hukum
yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan sunnah kadang-kadang dalam bentuk jawaban
dari suatu pernyataan atau disebabkan terjadinya sesuatu kasus atau merupakan
keputusan yang dikeluarkan Rasulullah ketika memutuskan suatu perkara.
c.
Bersifat
praktis dan realis, dimana kaum muslimin mencari hukum suatu peristiwa sesudah
benar-benar terjadi.
d.
Pemahaman
fiqih telah berwujud secara factual. Diakui bahwa keadaan fiqih memang
sederhana, yaitu berupa pengeluaran terhadap hukum-hukum islam dalam ruang dan
waktu tertentu.
2.
Fase
Khulafaur Rasyidin
Berlangsung dari
tahun 11 H (632 M) s/d 40 H (720 M). Fase ini juga disebut Fase Sahabat, karena
kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan sahabat-sahabat besar. Pada masa
tersebut banyak timbul penafsiran-penafsiran hukum dan pengambilan alasan hukum
( istinbat) untuk peristiwa yang tidak ada nas/ketentuannya. Sebagai penafsir
terhadap nas Al-Qur’an dan hadits, juga banyak dikeluarkan fatwa-fatwa tentang
hukum. Fatwa ini merupakan dasar ijtihad dan istinbat. Pada masa ini persoalan
fiqih lahir akibat dari kebijakan sahabat dalam memecahkan suatu masalah dan
perbedaan mereka dalam memahami sesuatu, sehingga melahirkan ketentuan fiqih
yang berbeda antara satu dengan lainnya. Sumber hukum pada masa ini ialah
Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad sahabat.
Menurut Abu Zahra munculnya ushul fiqih bersamaan dengan fiqih. Karena menurutnya fiqih sebagai produk tidak mungkin terwujud tanpa adanya metodologi istinbat. Dan metode istinbat ini sendiri adalah inti dari bagian ushul fiqih. Untuk menyebut beberapa orang sahabat, misalnya umar ibn khatab, ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dalam mengemukakan pendapat mereka tentang hukum telah menggunakan logika (aturan) dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas tidak mengemukakan demikian. Sebagai contoh, seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, bahwa ketika Ali bin Abi Thalib menetapkan hukuman campuk kepada peminum khamar, Ali berkata, bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina yaitu dicampuk 80 kali. Apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib ini dipahami bahwa beliau telah menggunakan kaidah apa yang kemudian dikenal dengan sad al-zari’ah.
Menurut Abu Zahra munculnya ushul fiqih bersamaan dengan fiqih. Karena menurutnya fiqih sebagai produk tidak mungkin terwujud tanpa adanya metodologi istinbat. Dan metode istinbat ini sendiri adalah inti dari bagian ushul fiqih. Untuk menyebut beberapa orang sahabat, misalnya umar ibn khatab, ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dalam mengemukakan pendapat mereka tentang hukum telah menggunakan logika (aturan) dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas tidak mengemukakan demikian. Sebagai contoh, seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, bahwa ketika Ali bin Abi Thalib menetapkan hukuman campuk kepada peminum khamar, Ali berkata, bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina yaitu dicampuk 80 kali. Apa yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib ini dipahami bahwa beliau telah menggunakan kaidah apa yang kemudian dikenal dengan sad al-zari’ah.
3.
Fase
sahabat dan Tabi’in
Masa ini
berlangsung pada tahun 41–100 H. Fiqih pada masa sahabat ialah ilmu pengetahuan yang tidak mudah
diketahui oleh masyarakat umum. Sebab untuk mengetahui fiqih hanya dapat dapat
diketahui oleh orang yang mempunyai ilmu agama yang mendalam sehingga mereka
dapat membahas dengan meneliti buku-buku yang besar dalam masalah fiqih. Mereka
biasa disebut liyatafaqqahafiddin.
Sebelum dibahas lebih lanjut, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian tabi’in. Menurut Hermi (2008) tabi’in adalah orang yang berjumpa dengan shahabat Nabi Muhammad SAW dalam keadaan ia beriman kepada Nabi Muhammad SAW meskipun ia tidak melihat beliau dan ia mati di atas keislamannya. Generasi tabi’in ini juga merupakan murid-murid sahabat yang banyak belajar mengenai keislaman. Pada periode tabiin ini para fuqaha terbagi menjadi dua golongan besar yaitu golongan ahlu ra’yi dan ahlul hadits. Golongan ahlu ra’yi berdomisili Irak dan golongan ini cenderung menyimpulkan suatu hukum berdasarkan rasionalitas, sedangkan golongan ahlul hadits berdomisili di daerah Hijaz dan golongan ini menolak keras kecenderungan baru yang dimiliki kelompok ahlu ra’yi karena golongan ini berpendapat bahwa agama adalah ketentuan Ilahi yang tidak bisa dirasionalisasi.
Dimasa ini sudah ditandai dengan muncul manhaj yang pada gilirannya akan melahirkan rumusan-rumusan fiqih. Sesungguhnya periode ini merupakan kelanjutan dari fase khulafaurrasyiddin. Dimasa sahabat banyak terjadi berbagai peristiwa yang dulunya belum pernah terjadi. Maka untuk menetapkan hukum terhadap peristiwa baru itu para sahabat terpaksa berijtihad, dalam berijtihad ini kadang-kadang terdapat kesepakatan pendapat yang dinamakan ijma’ dan kadang juga terjadi perbedaan pendapat yang dinamakan atsar. Adapun karakteristik pada masa sahabat ini ialah :
Sebelum dibahas lebih lanjut, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian tabi’in. Menurut Hermi (2008) tabi’in adalah orang yang berjumpa dengan shahabat Nabi Muhammad SAW dalam keadaan ia beriman kepada Nabi Muhammad SAW meskipun ia tidak melihat beliau dan ia mati di atas keislamannya. Generasi tabi’in ini juga merupakan murid-murid sahabat yang banyak belajar mengenai keislaman. Pada periode tabiin ini para fuqaha terbagi menjadi dua golongan besar yaitu golongan ahlu ra’yi dan ahlul hadits. Golongan ahlu ra’yi berdomisili Irak dan golongan ini cenderung menyimpulkan suatu hukum berdasarkan rasionalitas, sedangkan golongan ahlul hadits berdomisili di daerah Hijaz dan golongan ini menolak keras kecenderungan baru yang dimiliki kelompok ahlu ra’yi karena golongan ini berpendapat bahwa agama adalah ketentuan Ilahi yang tidak bisa dirasionalisasi.
Dimasa ini sudah ditandai dengan muncul manhaj yang pada gilirannya akan melahirkan rumusan-rumusan fiqih. Sesungguhnya periode ini merupakan kelanjutan dari fase khulafaurrasyiddin. Dimasa sahabat banyak terjadi berbagai peristiwa yang dulunya belum pernah terjadi. Maka untuk menetapkan hukum terhadap peristiwa baru itu para sahabat terpaksa berijtihad, dalam berijtihad ini kadang-kadang terdapat kesepakatan pendapat yang dinamakan ijma’ dan kadang juga terjadi perbedaan pendapat yang dinamakan atsar. Adapun karakteristik pada masa sahabat ini ialah :
a. Para
sahabat tidak akan menetapkan hukum sesuatu perbuatan terkecuali memang sudah
terjadi.
b. Sumber-sumber
fiqih periode ini sama seperti periode khulafaur rasyidin, yaitu Al-Qur'an, sunnah
dan ijtihad. Hanya saja pada periode ini muncul upaya untuk mengumpulkan dan
menulis hadits. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya pada masa
tabi’in ditemukan adanya pemalsuan periwayatan hadits, kemungkinan besar hal
inilah yang mendasari adanya pengumpulan dan periwayatan hadits. Selain faktor
mendasar tadi pengumpulan dan penulisan hadits juga dipengaruhi oleh faktor
lain, seperti adanya desakan keadaan bagi fuqaha yang mulai menghadapi
problematika dan persoalan baru yang menuntut mereka untuk segera
menyelesaikannya yang tentunya didasarkan atas Sunnah. Selain itu mulai
hilangnya kekhawatiran terhadap timbulnya perhatian yang berlebihan terhadap
penulisan Sunnah sehingga melupakan penulisan wahyu seperti yang dialami Rasulullah
pada saat Al-Qur’an diturunkan. Kegiatan ijtihad inilah yang akan melahirkan
banyak ketentuan fiqih.
c. Mulainya
Penggunaan rasio dalam pemikiran islam. Penggunaan rasio ini pada mulanya
muncul di Irak yang dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid An- Nakha’I, seorang
ulama fiqih irak yang selanjutnya pola penggunaan rasio ini dikembangkan oleh
imam Abu Hanifah sebagai salah satu cara dalam istinbath hukum. Seputar
Biografi Ibrahim bin Yazid An- Nakha’I . Nama sebenarnya ialah Abu Imran
Ibrahim bin Yazid bin Qais an Nakha’iy al Kufy, beliau seorang ulama fiqh di
Kufah dan seorang Tabi’in yang mulia. Beliau sering menemui Aisyah, tetapi
tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa ia menerima hadits dari Aisyah. Ia
menerima hadits dari ulama ulama tabi’in diantaranya adalah Iqamah, al Aswad,
Abdurahman, Masruq dan lain lainnya. Hadits haditsnya diriwayatkan dari
segolongan tabi’in, diantaranya adalah Abu Ishaq as Subai’iy, Habib bin Abi
Tsabit, Samak bin Harb, al A’masy dan Hammad bin Abu Sulaiman gurunya Abu
Hanifah.
4.
Fase
Tabi’i-Tabi’in
Masa ini berlangsung
pada tahun 100-150 H. Pada fase ini imam-imam mazhab daerah dikuasai oleh umat
islam semakin meluas, banyak bangsa-bangsa bukan arab memeluk islam. Karena itu
banyak timbul berbagai kasus baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Karena
kasus baru inilah yang memaksa para fuqaha berijtihad mencari hukum kasus itu,
dalam berijtihad mereka bukan saja berbicara yang mungkin terjadi pada masa
Mendatang. Jadi, sumber fiqih pada masa ini disamping Al-Qur’an dan sunnah
ditambah lagi dengan sumber lain seperti ijma’, qiyas, istihsan, istishab,
maslahahtul mursalah, mazhab sahabat dan syariat sebelum islam. Dimasa ini
mulai gerakan pembukuan sunnah, fiqih dan berbagai cabang ilmu pengetahuan
lainnya. Pada masa ini orang yang berkecimpung dalam ilmu fiqih disebut fuqaha
.Orang yang pertama mengambil inisiatif dalam bidang ini adalah Malik bin
Anas yang mengumpulkan sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in yang
dikumpulkan dalam sebuah kitab yang dinamakan Muwatha yang menjadi pegangan
Orang Hijaz. Fase ini disebut juga masa keemasan, kerena hukum islam
pada masa tersebut mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat. faktor yang
menyebabkan masa ini sangat pesat adalah, sebagai berikut :
a.
Meluasnya
daerah kekuasaan islam.
b.
Karya-karya
dari masa-masa yang sebelumnya.
c.
Munculnya
tokoh-tokoh besar.
Demikianlah faktor
yang menimbulkan kemajuan yag pesat bagi hukum islam dan menghasilkan
ulama-ulama yang tidak sedikit jumlahnya. Pada masa sahabat, orang-orang
memegang peranan dalam mengembangkan hukum islam hanya para sahabat dan baru
pada akhir masa tersebut muncullah tabi’in-tabi’in besar yang juga memegang
peranan. Salah satu tabi’in-tabi’in yang berasal dari masinah adalah Sa’id bin
Al-Musayyab dan ‘Urwah bin Az-zubair dan dari angkatan-angkatan sesudahnya
ialah Az-zuhri dan imam malik.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad hanafi. 1970. Pengantar dan sejarah Hukum Islam.
Jakarta : Bulan bintang.
Romli. 2017. Pengantar ilmu ushul fiqih. Depok : KENCAN.
Syafi’i karim. 1997. Fiqih Ushul fiqih. Bandung : Pustaka
setia.
THANKS FOR VISITING ^^
Komentar
Posting Komentar